Mengenal Putusan Tanpa Kehadiran Tergugat (Verstek) dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama (29/09)
Rizal Habibunnajar, S.H.
(CPNS Analis Perkara Peradilan-Pengadilan Agama Sangatta)
Perceraian merupakan perkara yang paling banyak disidangkan di Pengadilan Agama, hal tersebut didukung dari Laporan Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI tahun 2021 bahwa terdapat 484.373 perkara perceraian masuk di Pengadilan Agama pada tingkat pertama di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut merupakan akumulasi dari perkara Cerai Gugat yakni sebanyak 363.358 dan Cerai Talak sebanyak 121.379. Jika dilihat dari data tahun sebelumnya, perkara perceraian yang masuk sebanyak 465.528 perkara.[1] Hal demikian berarti bahwa perkara perceraian meningkat dari tahun sebelumnya.
Secara implementatif, perkara perceraian kadangkala disidangkan dan diputus tanpa kehadiran tergugat. Fakta tersebut didukung dari data yang didapat dari Pengadilan Agama Sangatta yang menyatakan bahwa sebanyak 457 atau sekitar 80 % perkara perceraian diputus secara verstek (tanpa kehadiran tergugat) dari total keseluruhan perkara cerai sebanyak 578 di Pengadilan Agama Sangatta pada tahun 2021.[2] Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakhadiran tergugat dalam perkara perceraian sangat beragam, seperti halnya keengganan pihak itu sendiri untuk datang ke persidangan, pihak tergugat memiliki agenda lain, ketidaktahuan tergugat terhadap panggilan yang diberikan oleh Pengadilan, tergugat merasa tidak keberatan digugat cerai oleh penggugat, tergugat tidak menerima panggilan sidang dari jurusita pengganti, terdapat anggapan bahwa ketidakhadiran tergugat/termohon perkaranya tidak dapat dijatuhkan atau diputus dan lain sebagainya.[3]
Adanya putusan tanpa kehadiran tergugat seringkali memunculkan masalah baru, seperti halnya terdapat ketidakpuasan dari pihak tergugat terhadap putusan. Hal demikian seringkali terjadi di Pengadilan Agama, termasuk Pengadilan Agama Sangatta. Contoh konkrit ketidakpuasan tersebut adalah komplain dari pihak tergugat yang datang langsung ke Pengadilan Agama, mereka mendatangi petugas pelayanan dengan membawa surat pemberitahuan isi putusan yang disampaikan oleh jurusita, yang kemudian memberikan komplain dengan nada kecewa, bahkan emosi. Mereka tidak terima dengan adanya putusan tersebut, karena terkadang mereka menganggap bahwa ketidakhadiran tergugat /termohon maka perkara tidak dapat dijatuhkan, sehingga anggapan tersebut menjadi dasar bahwa mereka tidak terima akan adanya putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim.
Contoh lain yang juga pernah terjadi di Pengadilan Agama Sangatta adalah komplain terhadap putusan verstek karena pihak tersebut merasa bahwa mereka tidak pernah dipanggil secara resmi ke persidangan, mereka tidak mendapatkan surat panggilan sidang (relaas) yang seharusnya mereka dapatkan dari jurusita, namun tiba-tiba mereka mendapatkan pemberitahuan dari mantan suami/istrinya bahwa telah terbit akta cerai di Pengadilan.
Fakta-fakta tersebut setidaknya menjadi dasar bahwa telah terjadi misinformasi karena ketidaktahuan masyarakat terhadap putusan tanpa kehadiran tergugat (verstek). Oleh karena itu, patut kiranya penulis menyampaikan beberapa gambaran umum terkait putusan Verstek, hal ini bertujuan agar masyarakat mengetahui aturan putusan Verstek di Pengadilan, khususnya dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama.
Gambaran Umum Putusan Tanpa Kehadiran Tergugat (Verstek)
Ketidakhadiran tergugat di dalam persidangan sebenarnya bukan merupakan hal yang asing di dalam Hukum Acara Perdata. Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 149 ayat (1) Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg) yang menyatakan bahwa:[4]
“Apabila pada hari yang telah ditentukan tergugat tidak datang meskipun sudah dipanggil dengan sepatutnya, dan juga tidak mengirimkan wakilnya, maka gugatan dikabulkan tanpa kehadirannya (verstek) kecuali bila ternyata menurut pengadilan negeri itu, bahwa gugatannya tidak mempunyai dasar hukum atau tidak beralasan.”
Hal senada juga dapat dilihat dalam pasal 125 Herziene Indonesisch Reglement (HIR) yang menyatakan bahwa:[5]
“Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut, maka gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada pengadilan negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan.”
Jika ditinjau dari sisi definisi, Putusan Verstek merupakan putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim tanpa hadirnya Tergugat atau kuasanya dan juga tanpa adanya alasan yang sah meskipun tergugat tersebut telah dipanggil secara resmi dan patut. Sejalan dengan hal tersebut, M. Yahya Harahap dalam karyanya Hukum Acara Perdata berpendapat bahwa majelis hakim berwenang menjatuhkan putusan di luar atau tanpa hadirnya tergugat dengan syarat-syarat yakni: a) apabila tergugat tidak datang menghadiri sidang pemeriksaan yang ditentukan tanpa adanya alasan yang sah (default without reason); dan b) hakim menjatuhkan putusan verstek yang berisi diktum: pertama, mengabulkan gugatan seluruhnya atau sebagian; atau kedua, menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatan tidak memiliki dasar hukum.[6]
Pandangan lain juga dikemukakan oleh Prof. Sudikno Mertokusumo yang menyatakan bahwa kehadiran tergugat di persidangan merupakan hak tergugat, tidak ada suatu keharusan bagi tergugat untuk datang di Persidangan, dengan demikian hak ini boleh diambil atau tidak. Artinya, kehadiran tergugat di persidangan bukanlah suatu kewajiban yang bersifat memaksa. Hukum menyerahkan sepenuhnya apakah tergugat mempergunakan hak itu untuk membela kepentingannya.[7]
Jika kembali mengacu pada aturan yang ada, Putusan Verstek setidak-tidaknya dapat dilakukan setelah adanya beberapa syarat, yakni: pertama; Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut; kedua, Tergugat tidak hadir dalam persidangan dan tidak mewakilkan kepada kuasanya tanpa alasan yang sah; ketiga, Penggugat hadir dalam sidang; keempat, Gugatan penggugat berdasarkan hukum dan beralasan; kelima, Tergugat tidak mengajukan eksepsi atau tangkisan.[8]
Makna resmi dan patut seperti yang disebutkan di atas adalah panggilan harus dilakukan secara resmi, maksudnya sasaran atau objek pemanggilan harus tepat menurut tata cara yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, sedangkan makna patut patut berarti pemanggilan harus memenuhi tenggang waktu yang patut, artinya dalam menetapkan tanggal dan hari persidangan hendaknya memperhatikan letak jauh dekatnya tempat tinggal pihak-pihak yang berperkara, yakni tenggang waktu yang ditetapkan tidak boleh kurang dari tiga hari sebelum acara persidangan dimulai dan di dalamnya tidak termasuk hari besar atau libur.[9]
Pemanggilan terhadap para pihak dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti dengan menyerahkan surat panggilan, sebagaimana ketentuan pasal 338 HIR. Pada waktu pemanggilan, jurusita atau jurusita pengganti harus menyertakan sehelai salinan atau turunan salinan gugatan dengan memberitahukan kepadanya kalau ia berkehendak boleh menjawabnya secara tertulis, sesuai ketentuan pasal 145 ayat (2) RBg atau pasal 121 ayat (2) HIR.
Dalam melakukan panggilan, jurusita harus secara langsung bertemu dengan orang yang dipanggil di tempat kediamannya sesuai yang tertera di surat gugatan. Apabila jurusita tidak bertemu dengan pihak tersebut, maka surat panggilan harus disampaikan kepada Lurah atau Kepala Desa dan kemudian lurah atau Kepala Desa tersebut wajib dengan segera memberitahukan kepada orang yang bersangkutan, sesuai ketentuan pasal 390 ayat (1) HIR, pasal 718 ayat (1) RBg, Pasal 26 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan Pasal 138 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam.
Meskipun dalam pasal 390 HIR tersebut disebutkan bahwa Kepala Desa berkewajiban untuk menyampaikan panggilan kepada pihak-pihak yang berperkara yang ada di Desanya, akan tetapi apabila lalai maka peraturan perundang-undangan tidak memberikan sanksi atas kelalaian tersebut. Oleh karena itu, disampaikan atau tidak panggilan tersebut oleh Kepala Desa atau Lurah kepada yang berkepentingan maka panggilan tersebut dapat dianggap telah memenuhi syarat panggilan dan yang bersangkutan telah dipanggil secara patut dan resmi. Seandainya Lurah atau Kepala Desa benar-benar tidak menyampaikan panggilan tersebut kepada tergugat karena kealpaannya, maka ia tidak dapat dituntut secara pidana.
Secara garis besar, apabila tergugat tidak hadir setelah dipanggil oleh jurusita pengadilan, maka tergugat dapat dipanggil sekali lagi sesuai ketentuan pasal 150 RBg/Pasal 126 HIR, makna “dapat” tersebut berarti bahwa hal itu merupakan kebebasan bagi hakim, apakah perlu dipanggil kedua kalinya atau tidak. Ketentuan pasal a quo seakan-akan juga memberi peringatan kepada hakim supaya jangan sampai bertindak dengan tergesa-gesa. karena bukan mustahil pihak yang diundang ke persidangan tidak tahu dan tidak menerima panggilan yang disampaikan jurusita, disebabkan surat untuknya hanya disampaikan kepada Desa/Lurah, meskipun sebenarnya panggilan tersebut adalah panggilan yang resmi dan patut.
Sejalan dengan hal tersebut, Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata berpendapat bahwa berdasarkan pertimbangan prinsip fair trial sesuai dengan asas audi alteram partem (dengarkan sisi lain), apabila Tergugat tidak hadir memenuhi pemeriksaan sidang pertama maka kurang layak jika hakim langsung menghukumnya dengan putusan verstek. Oleh sebab itu, hakim yang bijaksana, tidak akan gegabah secara emosional langsung menjatuhkan putusan verstek, tetapi memberi kesempatan lagi kepada Tergugat untuk hadir di persidangan dengan jalan mengundurkan pemeriksaan.[10] Namun di samping itu, hakim juga dapat langsung menjatuhkan putusan verstek sesuai ketentuan Pasal 149 ayat (1) Rbg/ Pasal 125 ayat (1) HIR.
Menurut Likik Mulyadi dalam bukunya Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia, terdapat 4 (empat) kemungkinan isi dari putusan Verstek, yakni:[11]
- Surat gugatan Penggugat/para penggugat dikabulkan seluruhnya.
- Surat gugatan penggugat/para penggugat dikabulkan untuk sebagian.
- Surat gugatan penggugat/para penggugat ditolak.
- Surat gugatan penggugat/para penggugat dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvantkelijke Verklaard (N.O).[12]
Berdasarkan pendapat di atas, maka jelas bahwa Putusan verstek tidak berarti selalu mengabulkan gugatan penggugat. Sehingga penggugat juga harus tetap membuktikan dalil-dalil gugatannya meskipun tergugat tidak hadir dalam persidangan. Selain itu, terdapat adagium “Actori incumbit probatio, actori onus probandi” yang berarti bahwa setiap orang yang mempunyai suatu hak, maka ia berkewajiban membuktikan haknya tersebut. Adagium tersebut termuat dalam Pasal 163 HIR dan 283 RBg. Adapun dalam perkara perceraian, Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2015 huruf C angka 3 menyatakan bahwa pemeriksaan secara verstek terhadap perkara perceraian tetap harus melalui proses pembuktian. Sehingga putusan yang dijatuhkan tanpa hadirnya tergugat dapat dikabulkan sepanjang berdasarkan hukum dan beralasan, oleh karena itu Hakim tetap membebani penggugat untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya.
Perlawanan atas Putusan Verstek (Verzet)
Apabila Tergugat merasa keberatan atas Putusan Verstek yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan, maka Tergugat memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum yakni Verzet. Verzet sendiri bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi Tergugat untuk membela kepentingannya atas kelalaian menghadiri persidangan di waktu yang lalu. Perlawanan atas Putusan Verstek yang berupa Verzet, diajukan dan diperiksa sama halnya dengan pemeriksaan gugatan perdata di Pengadilan Tingkat Pertama.
Adapun dasar hukum Verzet terdapat dalam ketentuan Pasal 129 ayat (1) HIR yang menyatakan bahwa “Tergugat yang dihukum sedang ia tidak hadir (verstek) dan tidak menerima putusan itu dapat mengajukan perlawanan atas keputusan itu.” Kemudian pasal 129 ayat (2) juga menyatakan bahwa, “Jika putusan itu diberitahukan kepada yang dikalahkan itu sendiri, maka perlawanan itu dapat diterima dalam tempo 14 (empat belas) hari sesudah pemberitahuan itu. Jika putusan itu tidak diberitahukan kepada yang dikalahkan itu sendiri, maka perlawanan itu dapat diterima sampai hari ke-delapan sesudah peringatan yang tersebut pada Pasal 196 atau dalam hal tidak menghadap sesudah dipanggil dengan patut sampai hari ke-delapan sesudah dijalankan keputusan surat perintah kedua yang tersebut pada Pasal 197.”
Adapun menurut ketentuan Pasal 153 RBg “tergugat yang perkaranya diputus tanpa kehadirannya dan tidak dapat menerima putusan itu dapat mengajukan perlawanan.” (2) Jika pemberitahuan putusan itu telah diterima oleh orang yang dikalahkan itu sendiri, maka perlawanan dapat dilakukan dalam tenggang waktu empat belas hari setelah pemberitahuan itu. Bila surat keputusan itu disampaikan tidak kepada orang yang dikalahkan itu sendiri, maka perlawanan dapat diajukan sampai dengan hari kedelapan setelah diperingatkan menurut pasal 207, atau, bila ia tidak datang menghadap untuk diberitahu meskipun telah dipanggil dengan sepatutnya, terhitung sampai dengan hari kedelapan setelah perintah tertulis seperti tersebut dalam pasal 208 dilaksanakan.
Maka berdasarkan ketentuan pasal-pasal a quo, dapat disimpulkan bahwa tenggat waktu pengajuan upaya hukum verzet adalah empat belas hari setelah putusan verstek dijatuhkan apabila pemberitahuan disampaikan langsung kepada tergugat, dan delapan hari setelah aanmaning (peringatan) apabila pemberitahuan putusan tidak langsung diberikan kepada tergugat, atau jika tergugat tidak hadir pada waktu aanmaning (peringatan) maka tenggat waktunya adalah sampai hari kedelapan sesudah sita eksekusi dilaksanakan. Jika lewat masa tenggang seperti ketentuan yang telah disebutkan sebelumnya, maka secara langsung putusan tersebut berkekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijsde).
Pertimbangan Hakim Menjatuhkan Putusan Verstek dalam Perkara Perceraian
Salah satu contoh putusan Pengadilan dalam perkara cerai gugat yang diputus verstek adalah Perkara Nomor 359/Pdt.G/2022/PA.Sgta yang diputus oleh Pengadilan Agama Sangatta pada tanggal 26 Juli 2022. Perkara tersebut merupakan satu dari sekian banyak contoh perkara perceraian yang diputus secara verstek atau tanpa kehadiran tergugat. Jika dilihat dari gugatannya, perkara tersebut diajukan dengan dalil-dalil bahwa telah terjadi perselisihan terus menerus antara penggugat dan tergugat, Sehingga penggugat berdalil bahwa hal demikian bisa menjadi alasan diajukannya perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 19 huruf f dan b PP No.9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f dan b Kompilasi Hukum Islam.
Jauh masuk ke dalam pertimbangan Majelis Hakim dalam perkara tersebut, pertama-tama majelis hakim mempertimbangkan terlebih dahulu Kompetensi Absolut Pengadilan Agama, selain itu juga Majelis Hakim mempertimbangkan Kompetensi Relatif Pengadilan Agama sesuai Pasal 73 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana yang telah diubah yang kedua dengan Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 jo Pasal 132 Kompilasi Hukum Islam.
Setelah mempertimbangkan kompetensi absolut dan kompetensi relatif Pengadilan Agama, kemudian Majelis Hakim mempertimbangkan legal standing penggugat, apakah penggugat memiliki hak dan kepentingan dalam perkara tersebut. Di samping itu, majelis hakim juga mempertimbangkan hasil mediasi, karena Majelis Hakim harus berupaya mendamaikan para pihak agar rukun kembali dengan tergugat sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan Pasal 154 RBg jo Pasal 39 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 31 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 143 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 82 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana yang telah diubah terakhir dengan Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009, akan tetapi usaha perdamaian tersebut tidak berhasil karena salah satu pihak (tergugat) tidak hadir dalam persidangan.
Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim juga mempertimbangkan kehadiran tergugat, dikarenakan tergugat telah dipanggil dengan patut, kemudian tidak datang menghadap di persidangan dan tidak pula menyuruh orang lain untuk menghadap sebagai kuasanya, sedangkan ketidak hadirannya tersebut tanpa disebabkan oleh sesuatu halangan yang sah, sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa tergugat tidak hadir dan perkara tersebut dapat diperiksa secara verstek tanpa hadirnya tergugat, sebagaimana ketentuan pasal 149 ayat (1) Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg).
Dalam legal reasoning nya, Majelis Hakim juga mengutip dalil syarí sebagai berikut:
من دعى الى حاكم من حكام المسلمين فلم يجب فهو ظالم لا حق له
Artinya : “ Seseorang yang dipanggil Hakim (Pengadilan) tidak datang, ia dipandang sebagai zalim dan tidak ada hak baginya. “ (Ahkamul Qur'an II : 405)
Senada dengan pendapat di atas, Majelis Hakim kemudian juga mempertimbangkan Ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2015 huruf C angka 3 yang menyatakan bahwa putusan yang dijatuhkan tanpa hadirnya Tergugat dapat dikabulkan sepanjang berdasarkan hukum dan beralasan, oleh karena itu Majelis tetap membebani Penggugat untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya. pertimbangan tersebut juga sesuai dengan sebuah pendapat di dalam Kitab Al-Anwar II : 149 yang berbunyi sebagai berikut:
وإن تعذر احضاره لتواريه وتعززه جازسماع الدعوى والبينة والحكم عليه
Artinya : “Apabila Tergugat berhalangan hadir karena bersembunyi atau enggan Hakim boleh memeriksa gugatan tersebut beserta bukti-buktinya dan menjatuhkan putusan atasnya“.
Kemudian setelah itu, Majelis Hakim dalam legal reasoning nya mempertimbangakan relaas panggilan terhadap tergugat. Majelis Hakim berpedoman pada ketentuan Pasal 150 RBg, Majelis Hakim menilai terhadap panggilan tersebut adalah panggilan yang resmi sah dan patut, oleh karena itu Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa panggilan tersebut dapat diterima.
Hal selanjutnya yang dipertimbangkan Majelis Hakim adalah pertimbangan tentang pembuktian dalil-dalil gugatan penggugat, di mana penggugat telah mengajukan alat bukti surat serta saksi-saksi sebagaimana yang dikehendaki dalam pasal 284 RBg. pertama-tama Majelis Hakim mempertimbangkan alat bukti surat yang diajukan penggugat, dengan memeriksa bukti tersebut yang kemudian disesuaikan dengan aslinya, bermaterai cukup dan telah dinazegelen sehingga bukti tersebut dapat diterima sebagai alat bukti berdasarkan Pasal 284, 285 dan Pasal 286 RBg, Pasal 2 Ayat 3 Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 jo. Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang perubahan tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas pengenaan Harga jo. Pasal 3 ayat 1 Undang-undang Nomor 10 tahun 2020 tentang Bea Meterai. kemudian Majelis Hakim dalam legal reasoning nya mempertimbangkan bahwa bukti surat yang diajukan penggugat adalah Akta Otentik sehingga kekuatan pembuktiannya merupakan bukti yang lengkap dan sempurna sesuai pasal 285 RBg/ pasal 1868 KUHPerdata, sehingga Majelis berpendapat bahwa secara materil dapat diterima sebagai alat bukti.
Setelah membuktikan alat bukti surat yang diajukan oleh Penggugat, Majelis Hakim dalam legal reasoning nya kemudian mempertimbangkan saksi-saksi yang diajukan penggugat, pertama-tama Majelis Hakim perpedoman pada ketentuan pasal 172 RBg, pasal 1912 KUH Perdata, pasal 171 RBg, pasal 1910 KUH Perdata dan pasal 1911 KUHPerdata, setelah Majelis Hakim menilai, saksi yang dihadirkan dapat diterima sebagai saksi yang sah.
Pertimbangan Majelis Hakim selanjutnya adalah kualifisir terhadap fakta-fakta kejadian yang berhubungan dengan hukum yang dibuktikan di dalam persidangan. Selanjutnya Majelis Hakim melakukan penerapan hukum (konstituir) terhadap fakta-fakta yang ada, apakah sudah terpenuhinya unsur-unsur perceraian menurut hukum islam dan peraturan perundang-undangan.
Kemudian setelah unsur-unsur perceraian terpenuhi, maka majelis hakim menyimpulkan bahwa terjadi perselisihan terus menerus sebagaimana ketentuan Pasal 19 huruf (b) dan (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Jo. Pasal 116 huruf (b) dan (f) Kompilasi Hukum Islam. Sehingga kemudian majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat dengan putusan verstek, karena tergugat tidak pernah hadir secara patut dan sah.[13]
[1] Laporan Tahunan Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI Tahun 2021.
[2] Laporan Tahunan Pengadilan Agama Sangatta Tahun 2021.
[3] Syadilah, Alwan (2022) Pemahaman Pihak Tergugat Terhadap Kehadiran di Persidangan Pengadilan Agama (Studi Kasus di PA Martapura). Skripsi, Syariah. https://idr.uin-antasari.ac.id/18304/
[4] Pasal 149 ayat (1) Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg). RBG singkatan dari Rechtreglement voor de Buitengewesten yang sering diterjemahkan Reglemen Hukum Daerah Seberang (di luar jawa Madura), yaitu hukum acara yang berlaku di persidangan perkara perdata maupun pidana di pengadilan di luar Jawa dan Madura.
[5] Pasal 125 Herziene Indonesisch Reglement (HIR). HIR adalah singkatan dari Herzien Inlandsch Reglement yang sering diterjemahkan menjadi Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui, yaitu hukum acara dalam persidangan perkara perdata maupun pidana yang berlaku di pulau Jawa dan Madura.
[6] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 391.
[7] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta; Liberty, 2002), hlm. 101.
[8] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), h. 383.
[9] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), hlm. 136.
[10] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 389.
[11] Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata menurut Teori dan Praktek Peradilan Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1999), hlm.. 126-132
[12] Gugatan tidak dapat diterima (NO) adalah suatu gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) manakala gugatan mengandung cacat formil. Suatu gugatan dinyatakan mengandung cacat formil, apabila melanggar kompetensi absolut maupun kompetensi relatif, dan error in person (keliru pihak berperkara).
[13] Putusan Selengkapnya dapat dibaca melalui https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaed0c9e53fa34a28805313134393237.html